Copyright © SA's World
Design by Dzignine
Jumat, 16 November 2012

Senja di Ujung Sana

Tak ku sangka, hati yang tadinya ceria kini justru tersendak tangisan yang mulai mengering pecah. Setauku kemarin aku masih berdiri tegak menghadap hal yang selalu aku banggakan. CINTA. Tapi mengapa kini kamarku berbalut duka. Padahal ini senja. Ada pertunjukan indah dilangit sana. Ada warna merah kejinggaan yang mengalut bersatu dengan matahari diujung yang memperindah bayangan siapapun yang berdiri didepannya. Seperti film romantis itu. Tapi terlambat. Senja hari ini turun perlahan tanpa senyum diwajahku. Dia pergi tanpa sekejap pun berbalik arah menggapai tanganku.

Aku sudah bayangkan, ada bendera kuning tapi didepan kamarku. Bertanda bahwa si empunya sedang berduka, kehilangan seseorang yang dia sayangi. Aku memang berduka. Tapi bukan kematian. Aku berduka. Hatiku tersayat habis. Nganga disini. Yah, coba kau rasakan. Kau rasakan tiap irama yang menari disitu, tepat didadaku. Aku tak sanggup menutup nganga itu sendiri tanpa mu, Sutrisno Handoko. Aku tak mempunyai kekuatan super untuk membendung air bah yang mengalir dari pelipis mataku. Aku tak sanggup menahan gempuran benderu perang antara hati dan pikiranku.


Aku berlinang kesekian kalinya. Setega itukah kau? Aku tak pernah menyangka, kau yang ku kenal, berubah setega ini. Selama ini, yang ku tau, kau tak pernah tega melihat seorang wanita menangis walau tak menyemburkan air mata. Kau bilang, "Aku selalu sedih membayangkan seorang wanita menangis. Kau tau, Gloria Karmila? Aku tak ingin membayangkan sosok wanita tercintaku, Almarhumah Ibuku menangis. Setiap aku membayangkan wanita menangis, maka aku melihat ibuku menangis. Dan jika aku membuat seorang wanita menangis, maka aku membuat ibuku menangis." Begitu halus perasaanmu, aku selalu ingat kalimat itu. Jauh sebelum kisah kita terukir, kita pernah duduk bersama menatap jingga dilangit itu untuk saling mengenal satu sama lain.

Tapi mengapa kini kau setega ini? Bukankah kau tak ingin melihat wanita menangis bahkan membuatnya menangis? Dan kini justru kau membuat ku menangis merintih kesakitan. Tak pernah kah kau mengulang lagi rekaman indah senja itu untuk mengingatkan mu tentang kalimat yang membuat ku merinding itu? Aku menyesali keputusan ku yang terlalu cepat mempercayai hatiku seutuhnya padamu. Bahkan tanpa syarat apapun kuberikan sepenuhnya tanggung jawab atas hatiku, perasaanku padamu. Bodohnya aku! Hingga aku tak pernah membayangkan, ah tidak, aku terlalu takut membayangkan saat-saat ini terjadi pada diriku. Tapi inilah kenyataannya. Sehebat apapun aku menutup telinga, mata ku agar tak menyadarinya, namun batinku telah mengetahuinya. Tissue yang selalu menjadi pelampiasan ku ini mulai habis. Tiap sobekannya aku aliri air mata yang selalu tak berujung. Betapa aku gila, menghabiskan tissue sebanyak ini dalam jengkal waktu  yang begitu cepat. Apakah aku selalu ingin menghancurkan bumi ini dengan hanya menghabiskan kayu-kayu hutan untuk dibuat tissue tiap kali aku menangis?

Ah... Kau gila! Atau aku Bodoh! Aku tak tau hingga akhirnya seorang mengetuk pintuku. Ibuku mempertanyakan keadaanku didalam sana. Aku kebajiran ibu. Air mataku sanggup menenggelamkan aku hidup-hidup didalam kamar ini. Aku menangisi seorang yang meninggalkan ku. Orang yang mungkin tak akan pernah kau toleh lagi jika kau tau ibu, dia yang menghancurkan perasaan anakmu ini. Ah, ibuku terlalu baik untuk ku seret dalam linangan air mata ini.

Kemarin, tepat tanggal 2 Januari. Setelah sebelumnya, disaat malam tahun baru kita habiskan bersama walau dibatasi oleh ruang yang jauh. Yah, tak terlalu jauh hingga menyeberangi lautan. Aku bahagia malam itu. Setidaknya aku orang pertama yang kau ucapkan "Happy New Year, sayang!" walau hanya lewat pesan singkat diponselku, dan baru kubaca jam 00.45 WIB. Aku terlambat membacanya. Aku pun sengaja tak membalas pesan itu karena aku tak ingin mengganggu tidurmu malam itu yang sedang bahagia melewati tahun lalu yang begitu berat. Aku bahagia. Melayangku hingga akhirnya dibawa aroma pagi yang membangunkanku melalui jendela kamarku. Aku bangun dengan wajah ceria. Tanggal 01 Januari, Ya Tuhan... Hari pertamaku di tahun baru ini. Aku menghubungi teman-temanku yang sejak semalam menginginkanku kembali menghabiskan liburan tahun baruku bersama mereka. Termasuk kau. Tapi sepertinya kantuk melanda mereka semua dan juga termasuk kau. Aku tak tega untuk mengegoiskan jiwaku untuk bertemu mereka.

Hingga malam tiba, terjadi banyak salah paham antara kita. Sejak awal aku katakan, kesibukanmu begitu hebat hingga mampu membuat waktu kita untuk sekedar mengabari lewat SMS saja tak pernah sempat. Aku tak tau apa yang membuatmu malam itu begitu labil. Hingga pesanmu membawa kabar, "Kali ini imbang." Apa maksudmu? Aku tak tau. Itu pesan terakhirmu yang menyisakan tanya beribu tanya dalam hatiku. Aku menggoda hasratku untuk menelponmu, mencari kejelasan atas kalimatmu itu. Tapi malam begitu gelap, bertanda telah larut. Tak tega aku menggodamu tengah malam begini.

Hingga keesokan harinya aku tau, ketika aku dijemput temanku untuk menghabiskan waktu bersama. Ditengah perjalanan mereka bercerita bahwa kau sakit. Kau sakit karena ketika malam tahun baru itu kau baru tidur jam setengah 1 malam. Ya Tuhan, kau tau kan matamu sudah tak normal, matamu miopi. Bukankah kau minus 1.5? Mana mungkin dengan kondisi seperti itu kau sanggup begadang! Ah.... Aku tau, mengapa pikiranku baru terkoneksi saat ini? Kau menghabiskan malam tahun baru kan bersama teman-teman kita? Tentu saja, kau begadang. Dan kini kau sakit. Kau menahan setiap pukulan dibelakang kepalamu karena terjaga sepanjang malam tahun baru itu. Kini mulai berseteru dinding hatiku menahan betapa kacaunya kau malam itu yang harus berjibaku meladeni setiap ungkapanku yang terdengar sangat marah. Maafkan aku...

Terlambat... Ketika aku sampai dirumahmu, yah, kami memutuskan untuk menjengukmu yang tak bisa pergi bersama kami karena sakit, kami disapa oleh kakak perempuanmu pertama kali. Lalu kami dipersilahkan masuk. Aku ingat betul kronologi kejadian dirumahmu itu. Kau datang meghampiri kami. Kau begitu kusut bagiku. Dilapisi jaket hitam mu yang semakin memperkeruh pikiranku tentang kondisimu. Apakah sakit yang membuatmu begitu kusut, sayang? Aku semakin bertanya dalam relungku. Hingga kakakmu yang sedang menggendong anaknya, yah... Aku mulai tersenyum sedikit. Kau beberapa hari lalu meng-update status disalah satu akun mu tentang kelahiran keponakan pertamamu itu. Aku bahagia. Keponakanmu perempuan. Cantik yah... :D Lalu yang membuat suasana semakin mencair yaitu lelucon kakak mu yang menanyakan, "Coba tunjukkan pada kakak mana pacar Sutris?" Hahaha... Semua tertawa, seketika semua mata tertuju padaku yang bertingkah seperti orang yang tak tahu apapun. "Itu kak, yang lagi megang jaket putih." Salah seorang dari mereka mendeskripsikan diriku. Aku malu. Pipiku kini merona, kurasa. Aku tak sengaja melihat ke arahmu yang masih saja dengan posisimu: duduk bersila kaki dilantai dan merundukkan kepala. "Sayang, seberapa sakit yang kau rasakan itu? Beritahu padaku.", hatiku mulai lagi dengan pertanyaannya. "Adik bangun gih, ada tante tuh?", kakakmu mulai lagi dengan banyolannya. Tapi tetap saja tak mampu membuatmu menegakkan kepalamu. Akhirnya keponakanmu itu ditidurkan di dekatmu, lalu di letakkan kelambu untuk menjaganya. Kakakmu pun pergi keluar sebentar dan menitipkan keponakanmu itu padamu.

Aku memberanikan diri untuk mendekatimu, sekedar untuk berbasa-basi saja. Aku mengambil posisi disamping keponakanmu. Didepanku duduk dua teman perempuan kita sedang mengamati betapa gemasnya keponakanmu itu. Lalu tak lama dari itu, kau mengambil posisi duduk disampingku. " Sakit apa? Badannya panas atau gak enak badan?" Aku mulai membuka sesi tanya jawab. Tapi kau hanya diam saja, diikuti kata-kata pelan keluar dari tenggorokanmu, "Cuma gak enak badan." Ku sambung lagi "Namanya siapa?" Sekedar untuk mencarikan suasana saja. Lalu bisikan itu terdengar lagi dari kedua teman ku ini, "Kali pertama nge-lihat langsung Gloria dengan Sutris ngomong langsung." Kau ku lihat begitu malu dengan kalimat mereka itu. "Azizah Apriyanti." Jawabmu singkat. "Kan bukan lahir bulan April?" Aku ingin kau sedikit tersenyum. Namun reaksimu terlalu payah. Tak ada perubahan diwajahmu. Akhirnya aku mulai geram, "Padahal cuma mau buat kamu senyum, tapi kamu gak senyum-senyum juga!" Aku menampakkan wajah kesalku padamu dan pergi duduk dengan temanku dikursi tempat semula. Entah apa yang ada dipikiranmu saat itu. Aku tak peduli.

Dan kini, senja ini, aku menarik nafas sedalam-dalam mungkin, aku berharap tarikan nafasku tadi adalah yang terakhir. Aku tak sanggup membayangkan aku yang berjalan sendiri tanpa dirimu setelah hari ini. Mengapa kau hanya berani berucap melalui pesan? Pesan lagi yang ku terima darimu. "Aku mungkin bukanlah lelaki yang baik untukmu. Aku tak pernah bisa membuatmu bahagia." "Apa maksudmu?" Aku me-replay pesanmu tadi. "Gloria, sebaiknya kita berakhir sampai disini saja?" Aku terkejut. Aku tak mau menceritakan kejadian setelah itu. Aku tak ingin semakin jatuh tersungkur. Yang pasti, aku meng-iyakan permintaanmu tadi.

Setelah itu, aku seperti saat ini. Merenung. Sebenarnya aku tak saanggup dengan perlakuan dinginmu selama ini padaku. Tapi cinta tak pernah bohong pada diriku. Aku masih mencintaimu. Tapi. Ah, penyesalan selalu berakhir air mata. Mengapa tak Tuhan ciptakan penyesalan yang membahagiakan saja? Ketimbang harus berderai air mata begini?

Aku hancur. Aku tau kau pun hancur. Tapi mengapa kau biarkan ini terjadi pada  kisah bahagia kita? Kau membuatku menangis. Ingatkah kau dengan kalimat mu dulu?

Cinta membawaku pada tangga yang licin
Hingga peganganku tak kuat lagi
Dan aku tersungkur didalamnya
Tanpa kau yang menggapai tangan ku
Kau menyeretku pada kesengsaraan ini...

0 komentar:

Posting Komentar

Enjoy It