Copyright © SA's World
Design by Dzignine
Kamis, 28 Juni 2012

Yang Tak Terlupakan

                   
Persahabatan masa kecilku menyisakan kami berempat.... Kami: Aku, Tina, Rana dan Ovin. Yah,... memang kami berempat yang tetap bersama. Tapi, sebenarnya teman laki-laki kami pun ada. Tapi, hanya seorang saja, Herman. Memang sejak SD kami berlima selalu bersama. Tak ada yang kami tutupi satu sama lain. Kami ceritakan semua masalah satu sama lain. Kini kami mulai dewasa, memasuki masa 'putih biru', yah masa SMP..... Kami sekarang bersekolah di SMP Negeri 20 Palembang. Aku, Tina, Rana, kami masih satu kelas, tetapi Ovin dan Herman tak sekelas dengan kami.

Tak banyak pilihan ekstrakulikuler, kami memilih Pramuka, 'Praja Muda Karana' sebagai tempat naungan kami untuk berkreatifitas. Banyak orang yang kami temui di Pramuka. Seperti yang lain pun, nyali mulai bertumbangan, dari banyak orang disana, menyisakan sedikit orang. Terlalu banyak jika dituliskan nama mereka satu persatu, tapi diantara semua ada salah satuorang yang tak aku sukai, begitu pula dengan Tina, Rana, dan Ovin. Dia, tak perlu kusebutkan namanya. Sejak SD, dia dan teman-temannya selalu mengganggu kami. Entah mengapa? Mungkin sewaktu SD, kami terlalu kecil sedangkan mereka seperti para 'preman SD' yang menakuti orang. Aku tak suka dia. Tapi aku tak boleh begitu. Aku dan dia kini bersatu dalam naungan Pramuka. Hari-hari pun mulai berjalan. Mencairkan batu dingin yang selama ini ada diantara kami. Dan hasilnya, kami berteman, namun tak bisa kusebut Sahabat. Ya, walau aku sedikit was-was dengannya. Aku tak ingat kapan terakhir kali kami bertengkar tapi yang pasti kami satu keatuan sekarang.

Lomba pertama mulai dikabari oleh para senior kami. Berbondong-bondong kami mempersiapkannya. Teman baruku di SMP, namanya Anda, dia anak baru di pramuka, dan kali ini bisa ku sebut dia Sahabatku. Aku sebenarnya dekat sekali dengannya, aku menganggapnya adikku sendiri. Karena dia pun memanggilku dengan sebutan 'Ayuk', panggilan untuk anak perempuan yang umurnya lebih tua dalam bahasa kami sehari-hari. Tapi aku tak lebih tua dari dia. Dia hanya mengikuti sepupu perempuanku yang bernama Fatimah. Karena aku dan Fatimah pun satu kelas dan berada di pramuka.


Dan mulailah kami, satu regu Pramuka menyusun strategi berlomba. Aku dan Anda tak mau ketinggalan. Kami memilih  lomba Hasta Karya sebagai lomba pertama kami. "Aku mau di lomba Hasta Karya bersama Anda, Kak", aku berkata kepada salah seorang kakak senior ku. Permohonan ku dikabulkannya. Sejak saat itulah aku dan Anda selalu ditempatkan di tempat yang sama.
Hari pertama lomba Pramuka, cenat-cenut. Aku tak tau lomba itu seperti apa. Tapi jelas, kami tak mempunyai target untuk menang. Ini pertama kalinya kami turun ke lapangan langsung. Kami membawa nama Sakura. Regu putra, Kobra. Ya, nama ular. Apakah mereka bersisik? Entahlah. Lomba pertama, Aku dan Anda berusaha membuat kesan yang indah kali ini. Kami membuat maket celengan rumah. Kami membuatnya dengan kardus bekas dan koran lama. Kami hiasi dengan kapas warna. Tersentak kami dengan kasilnya, cukup.... 'Berantakan'. Tak macam hasil ini namanya. Tapi ketika kami potret, hasilnya memuaskan yang kami dapatkan. Memang benar, 'Foto itu menipu', hanya maya sekejap. Kami bahkan sempat beradu argumentasi. Aku yang lebih suka menjadikan kapas dibagian tamannya, tetapi Anda tak suka. Tetap saja ku jadikan kipas sebagai taman, aku tak pedulikan dia. Waktu pun habis. "Semua peserta silahkan meninggalkan maketnya," salah satu juri berkata.  "Memang sebaiknya kita jadikan taman kapas tadi, nda",  aku masih saja mengungkit-ungkit maket itu. "Ayuk biarkanlah kapas itu disisi sudut-sudutnya", Anda membalasnya geram.

Setiap kali lomba memang dari Sakura selalu bertengkar. Ribut tak pernah damai. Dan akhirnya lapanganlah yang akan mendamaikan kami sendiri. Itu selalu terjadi. Tak pernah kompak kami. Tapi inilah persahabatan kami.

Hingga akhirnya regu kami, Sakura menyisakan 11 orang, ada: Fitri, Aku, Tina, Mumut, Marmut, Fatimah, Indri, Julia, Ovin, Rana dan Anda. Sedangkan Cobra hanya bersisa 7 orang: Dodi, Yosi, Tyo, Herman, Fiki, Afif dan Dani. Tak mudah menyatukan 18 kepala dalam satu pemikiran. Berbagai rasa di hati tak selalu satu. Banyak keributan terjadi. Mulai dari perselisihan antar regu yang dikarenakan perbedaan pendapat, rasa iri, satu sama lain, bahkan karena diantara kami ada yang terjadi 'Cinta Lokasi', perdebatan masalah itupun ada. Tapi setiap pertengkaran itu selalu kami selesaikan di teras rumah Fitri. Itulah ruang sidang setiap masalah kami.

Setelah banyak hal terjadi, kami memutuskan untuk berganti nama dari Sakura menjadi Rafflesia seerta Kobra menjadi Cendrawasih. Sejak itulah kami dikenal dgn Cendrasia. Bukan karena banyak perdebatan yang terjadi, tetapi juga sudah berapa kali lomba yang kami ikuti, belum satupun yang membuahkan hasil yang positif. Dan akhirnya, loba ketiga, Cendrawasih menang. Terharu dengan kemenangan itu, mereka membagi piala itu pada kami juga. Menangis kami bersama. "Ini bukan piala kami saja tapu Rafflesia yang selalu mendukung kami", Dani berkata haru. Rasa kebersamaan yang kami pupuk bersama tak sia-sia.


Tapi tak selalu behagia haru cerita kami. Pernah suatu ketika Aku bertengkar dengan mereka bersepuluh. Karena sentimentasi ku yang sudah lama terkubur terlalu dalam. Akhirnya kami bersidang di sanggar Pramuka ketika jam istirahat. Disana aku ceplas-ceplos, aku katakan bahwa aku tak suka dengan sikap mereka yang terkadang menyepelekan hal-hal yang bagiku penting. Fitri sebagai pimpinan regu kami berucap, "Andai kau jadi aku, kaupun tau banyak hal yang kupikirkan untuk kalian semua. Aku pun terkadang harus memendam semua hinaan dari orang luar." Fitri bersaksi dengan air matanya. "Mengapa tak kau katakan saja?" Aku menjawab seolah menantang penuh kemudahan. Fitri mengangis. Cendrawasih datang melihat tangisan itu. Keegoisanku tak terukur. Dari satu kalimat itu aku berpikir penuh dengan kritis. Aku tak tahan dengan kondisi itu. Aku keluar. Dalam hatiku, "Tak akan aku kembali lagi."


Bel tanda jam pulang berbunyi. Aku tak kan kembali. Aku tak mau membahas masalah itu. Sampai akhirnya Julia dan Indri menungguku di depan kelasku. Aku seolah-olah tak mau menolehnya. Hingga aku ditarik mereka ke tengah lapangan dimana semua Rafflesia dan Cendrawasih sudah berkumpul. Aku dimulai lagi untuk berbicara. Mereka berkata, " Egomu terlalu besar, Kau harus tinggalkan itu Sintya." "Aku tak begini jika tak ada yang memulai, aku tak suka segala urusan disatukan." Aku menjawab membela diri. "Masalah kecil pun tak bisa diselesaikan, bagaimana untuk masalah yang lebih besar?" Mumut berkata menyambung kata-kata ku dan menerkamnya. Aku tertegak berdiri diam. Aku sendiri, tak kan ku dengar. Ego ku berkata lagi. Aku menahan tangisku hingga keluar jua. Aku pergi tak ku lihat mereka lagi. Aku menangis pertama kali di depan umum. Betapa cengengnya aku.Aku tak tahu mereka melihat ku menangis atau tidak. Tapi kejadian hari itu tak kan ku lupa sampai nanti. Aku belajar banyak. Perbedaan yang berarti akan berganti jika semua ku selesaikan tanpa emosi. Mereka bagian hidupku.

Keesokan harinya aku membuang semua amarahku. Ku jadikan pelajaran hidup. Kami berkumpul di sanggar Pramuka lagi. Akhirnya ku hampiri Fitri, ku jabat tangannya. Menahan tangis, aku terlalu egois, aku tak menyadari setiap langkah kecil kalian. Aku tak mau menyiakan setiap orang di hidupku. Kalian sempurna, jadi bagian hidupku, apapun kekurangan ku. Kami saling mendekat dan bergandeng tangan. Menggenggam satu sama lain. Cendrawasih melihat, mereka hanya tersenyum. Tak pernah ku rasakan sebelumnya, keluarga kecilku tumbuh disini.

Hingga akhirnya kelas tiga SMP, aku tak sekelas dengan satupun dari mereka. Aku sendiri tanpa sahabat karibku. Aku duduk di depan sudut sendirian. Tak satupun dari teman sekelas berani memanggilku. Aku sangat serius sekaligus misterius. Aku, mereka kenal tak pernah main-main. Aku kaku di depan mereka. Tak ada yang memulai untuk aku bercerita. Memanggil ku saja mereka anggap hal yang serius. Cendrasia berarti sangat besar bagi ku. Aku diam tanpa mereka, Aku membatu. Tapi jika aku berkumpul, sudah lepas jua pikiran ku itu.

Waktu kelulusan SMP tiba. Kami berkumpul disanggar kembali. Kami mengenang setiap jejak masa lalu kami. Tertangis tertatih kami, semua terharu mengingat setiap yang terjadi. Kami berjanji untuk tetap bersatu sebagai keluarga. Setiap libur kami harus berkumpul. Dan kenyataannya, kami tak satu sekolah, hanya bersisa aku, Mumut, Indri dan Tyo. Kami berpisah. Terjadi semua itu. Setiap ketakutan kami. Dari situ aku belajar, setiap pertemuan, perjumpaan akan selalu berakhir. Tak ada yang abadi di dunia yang fana ini. Tapi kami berjanji akan tunjukkan pada dunia ARTI SAHABAT sesungguhnya. Setiap kali mengingat mereka, sedih, haru, bahagia bersatu. Aku senang bersahabat dengan kalian. Dunia ku mulai tumbuh. Hidupku mulai berbung. Dan memang benar " Sebuah Persahabatan Akan Berpikir Karena Satu Kata Tak Masuk Akal". Dunia ini fana tapi kita bisa membuat setiap detik di dunia ini abadi, hingga menjadi Cerita Untuk Dunia. Dan ini adalah bagian dari sebuah perjalananyang natural, sebagian dari Cerita Hidupku untuk Masa Seterusnya. 


Tunjukkan pada dunia..... ARTI SAHABAT... 
(Nidji: Arti Sahabat)

Enjoy It