Copyright © SA's World
Design by Dzignine
Minggu, 16 Desember 2012

Segenggam Rasa

*Semangat Sintya... Semangat..!* Ku ulangi beberapa kali perintah yang ku ajukan sendiri kepada diriku agar tetap bisa berjalan. Setelah bunga cinta itu menguncup kembali, setelah tersadar aku dari setiap deras air mata yang menghujani ku. Air mata... *Ya, Tuhan... Tak cukupkah Kau buat aku menangis tanpa henti hari ini?* Gumam hati ku yang tak habis-habisnya mempertanyakan keadilan Tuhan. Aku siap. *Hari ini aku siap!* Tunggu.... Aku belum siap. Aku mulai lagi membatin tanpa kalimat yang ku ucap dengan jelas. Apa aku siap? *Kau bodoh, Sintya! Kau bodoh. Apa yang kau harap dari cinta pertama mu itu?* Tak lama aku terdiam. Hujan datang kembali. Turuni bukit pipi kananku. Dengan jelas, tangisan lagi yang ku terima. Setelah tak ada lagi hal-hal yang menarik tentang dirinya setelah satu tahun mulai berlalu. Cinta itu entah kemana? Mungkin telah singgah di hati yang lain atau mungkin membusuk di dasar hati yang sengaja dibekukan? Aku tak tau. Hanya dia yang tau. *Ya, cuma kau yang tau, Syobri!* Tak apalah dengan rasa yang mengalir terus dari hatiku. Aku terlalu sering membiarkan matahari singgah disana. Membiarkannya tetap tersinari cahaya agar terus hidup. Itulah kebodohanku. Aku bodoh. Tak sadarkah aku jika satu tahun itu waktu yang cukup untuk membiarkan rasa itu mati perlahan?


Tepat satu tahun yang lalu, ku biarkan saja rasa di hatiku menggebu-gebu gila. Membiarkan seorang disana menghidupkan bunga yang tak seharusnya berkembang. Padahal aku telah bertekad, *Tak akan ada seorang pun yang akan ku biarkan menyentuh rasa terdalamku untuk dia singgahi, hingga aku benar-benar merasa dewasa!* Tapi, semua berubah, mengenalmu, menyelami tiap arti kehidupan yang kau berikan, membuatku menggoyahkan niat itu. Untuk yang pertama kalinya, aku mengenal Cinta. Cinta yang tak pernah bisa kau permainkan lagi. Cinta yang sampai kapanpun terus menjadi rasa yang teramat sakral untuk dijamah seseorang. Bagiku, cintaku terlalu suci untuk dinodai dengan bulir-bulir air mata yang tak pantas. Tapi, aku teramat bodoh. Menyerahkan begitu saja rasaku, membiarkan kau bermain-main dengan hal itu. 

Aku ingat berapa kali kau mempermainkan rasa ku itu dengan temanmu. Setelah semua berakhir dengan rasa yang terus menggerogoti ku. Dan kau bilang, *Semua tak akan banyak berubah, cintaku padamu tak pernah akan gugur. Mereka akan terus hidup berdampingan. Hanya saja, diriku saat ini terlalu tak berguna untukmu.* Tak sampai situ saja kau menjelaskan dengan hati-hati padaku tentang rasamu sebenarnya. *Mencari sesuatu yang selama ini menghilang.* Berhenti.... Berhenti membuatku menjadi bingung. Kau tau kau siapa? Betapa memalukannya jika mereka tau. Jika mereka tau, betapa kau tak henti-hentinya berucap tanpa dasar yang kuat. Kalimatmu terlalu membuat banyak orang mempercayaimu. Termasuk aku. 

Namun sudahlah. Semua yang kau ucapkan tak akan ada arti jika kau tak benar-benar membuktikannya. Kau akan terus jatuh tanpa dasar yang pasti untuk menghempasmu. Dan kau tau, begitu pula dengan aku. Apa yang kau alami tak murni kau alami sendiri. Aku terjatuh sama sakit sepertimu. Bahkan lebih sakit. Kau sekarang mencoba menarik ku dari dasar jurang terdalam yang pernah ku temui. Dan parahnya, kau yang membuatku terjatuh kedalamnya. Kini ada dua kemungkinan: *Aku akan terjatuh lebih dalam lagi jika nantinya kau sama, akan tetap menjatuhkan aku.* atau *Kau benar akan memperbaiki semuanya, jelas jauh lebih baik dari yang pernah kita alami.* Benar bukan apa yang ku katakan? sekali ini saja, kau berikan ku kelonggaran. Biarkan aku sedikit bernapas agar nantinya aku menemukan jawaban untuk diriku lagi. Untuk segenggam rasa yang terus hidup abadi.

Mempercayaimu itu sudah pasti.
Hanya saja yakinkah aku?
Setelah jatuhnya aku,
Akankah kau mengangkatku kembali
Tanpa berani meninggalkanku?

0 komentar:

Posting Komentar

Enjoy It