Copyright © SA's World
Design by Dzignine
Kamis, 08 Oktober 2015

Sahabat (Naskah Drama)


Masa baru dalam kehidupan Atika dimulai. Jaman dimana selalu memegang lolipop kini berganti dengan masa berkumpul bersama teman-temannya untuk sekedar bercerita tentang hidup. Kini Atika dan teman-temannya, Rahma, Winka dan Anggi telah berseragam putih-biru. Yah, saat ini merupakan masa transisi, masa SMP. Begitulah kiranya perjalan persahabatan mereka dari SD kini berganti haluan ke SMP. Bahagia bukan? Terus bersama dengan mereka, berbagi suka duka dan menghabiskan waktu bersama. Seperti dunia ini hanya milik mereka berempat. 
Tapi, bukan mereka saja. Kelulusan penerimaan siswa baru SMP Widyatama bukan milik mereka saja. Masih ada Danu, Awan, Tio, Haqqi dan Ramlan. Mereka juga merupakan segerombolan sahabat Atika. Semua bahagia, bisa satu sekolah kembali dan itu artinya kegilaan tak berhenti di masa SD. Itu lucu, memang sangat lucu. Mereka sengaja mencari satu sekolah yang sama agar bisa terus bersama. Tampaknya kelulusan tidak bisa memisahkan persahabatan mereka semua.
Namun nampaknya persahabatan tak semulus yang mereka pikirkan. Persahabatan itu sempat diuji dengan hadirnya seorang siswi di kelas mereka. Rana, begitulah tepatnya siswi baru itu bernama. Rana merupakan sosok yang Danu sukai, seorang gadis yang cantik dan cukup pintar. Berbeda dengan Danu, Rahma justru tidak menyukai sosok Rana. Entah apa yang dipikirkan Rahma, dia menganggap Rana hanya akan merusak hubungan mereka semua. Berbeda dengan Rahma dan Danu, Atika pun berbeda pandangan. Atika begitu senang dengan kehadiran Rana di semester kedua kelas satu SMP ini. Rana duduk sebangku dengan Atika dan mereka berdua berteman akrab.
Melihat kondisi itu, Winka, Anggi, Awan, Ramlan, Tio dan Haqqi begitu dilema. Mengapa persahabatan mereka berubah seperti ajang saling benar? Danu tetap pada prinsipnya menyukai Rana, Rahma yang keras kepala tetap membenci Rana dan Atika yang begitu dekat dengan Rana terus bersama Rana. Lalu Winka dan Anggi mengikuti jejak Rahma yang membenci Rana namun mereka tetap berteman baik dengan Atika seperti biasa, berbeda dengan Rahma yang kesal dengan sikap yang ditunjukkan Atika. Sedangkan Awan, Tio dan Haqqi tak mau ikut berdebat, mereka memilih untuk ‘golput’, yah begitulah istilah untuk orang yang tidak berpihak pada pihak manapun. Mereka hanya mengikuti alur saja. Begitulah anak laki-laki pada umumnya, tak mau ikut campur banyak hal, terutama masalah keributan yang hanya sekedar dilandasi rasa kecemburuan khas anak-anak tamatan SD.
Tapi seiring berjalannya waktu, Atika yang tak lelah meyakinkan kepada teman-temannya bahwa Rana merupakan anak yang baik, berbeda dengan apa yang mereka pikirkan membuat persahabatan itu kembali normal. Atika berhasil membujuk Rahma, Winda dan Anggi untuk sekedar bercerita sedikit tentang persahabatan mereka. Danu pun tak kalah antusiasnya membantu Atika mengenalkan Rana dengan teman-teman mereka semua. Hingga akhirnya Rahma, Winka, Atika dan Anggi memiliki teman baru, Rana. Awan, Tio, Ramlan, Danu dan Haqqi pun bahagia. Semua kembali normal.
Hingga detik terakhir pengumuman kelulusan SMP, mereka terus bersama. Persahabatan mereka yang begitu panjang tak akan lekang oleh waktu. Walau kini masa itu berganti dengan masa SMA dan mereka memutuskan untuk bersekolah di sekolah masing-masing, tetap terkadang ketika hari libur mereka menyempatkan waktu untuk sekedar menggila bersama.


Adegan 1

                  Hari pertama masuk SMP. Hanya Danu, Haqqi, Anggi dan Ramlan yang tak satu kelas, sedangkan Rahma, Atika, Winka, Awan, dan Tio berada dalam satu kelas. Pagi itu, sebelum walikelas mereka masuk ke kelas masing-masing, mereka menyempatkan diri untuk berkumpul sekedar untuk bercanda. Mereka duduk di depan kelas VIIA, kelas dimana Rahma, Atika, Winka, Awan dan Tio tempati. Ada sebuah bangku panjang yang didepannya berbaris bunga-bunga yang masih dalam kuncup. Mereka duduk memanjang, bersenda gurau.
Haqqi      :   (Mengayunkan kedua kakinya) “Hari pertama sah sebagai siswa-siswi SMP.”
Atika        :   (menoleh ke arah Haqqi yang duduk dua deret dikanannya) “Kamu bahagia karena itu atau karena masih satu sekolah dengan Winka? Hayooo…”
Winka     :   (Menyikut lengan Atika yang duduk disebelah kirinya) “Kamu Ka, bahagia sekali kalau menyinggung orang.”
Tio            : “Alah.. Perempuan itu sama saja. Hobinya cuma ngomongin orang aja.”
Anggi       : “Daripada kamu, Yo, laki-laki tapi suka kumpul-kumpul sama perempuan.”
Awan     : (Sambil beranjak berdiri dari tempat duduknya dan menghadap mereka semua) “Kalian semua itu sama aja, mau laki-laki ataupun perempuan, hobinya nge-gosip-in orang.”
Ramlan :  (Berdiri mendekati Awan) “Enggak tuh. Kamu juga gitu kan, Wan? Loh wong kamu suka kumpul bareng kita.”
Danu     :  (Menyikut lengan Rahma di sebelah kanannya) “Ma, kok diam saja? Ramlan udah berdiri didepan kamu tuh.”
Anggi    :  (Baru menyadari posisi Ramlan dan Rahma) “Wooow, kode alam.”
Haqqi    : (Sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya) “Ya ampun, gak nyangka yah, ‘cinta monyet’ berlanjut.”
Atika     :  (Menjadi salah tingkah dengan sikap Haqqi) “Kamu, Qi. Beneran deh, mirip perempuan tau...”
Awan     :  “Sejak kapan kamu berminat mengikuti jejak Tio yang malamnya jadi Tia sih, Qi?”
              Mereka semua tertawa mendengan kalimat Awan. Kali ini Awan benar. Tio memang sedikit gemulai. Yah, sudah sejak SD Tio bersikap seperti itu. Tapi, jika Tio telah marah, sikap dia begitu menakutkan.
Tio         :  (Tersinggung mendengar ucapan Awan) “Wah, kamu, Wan. Jangan keras-keras dong. Nanti yang lain tau, sebagai murid baru, kita harus menjaga image, ok?”
Rahma  :  “Tika senyum-senyum tuh. Terpesona dengan Awan. Hahahaha…”
Danu     :  (Menggoda Atika) “Tika, Awan deketin cewek lain gak?”
Atika     :  (Merasa kesal) “Apaan sih? Siapa yang senyam-senyum. Biasa aja tuh.”
Awan     :  (Sambil menatap Atika) “Kan temen, iya tidak, Ka?”
              Bel tanda masuk pun berbunyi, menyadari hal itu, mereka semua bergegas memasuki kelas masing-masing. Sebagai siswa baru di SMP ini mereka tak mau dicap sebagai perkumpulan tak berpendidikan. Oleh karena itu, sebagai kesan pertama kepada walikelas, mereka ingin lebih menonjol daripada yang lain.

Adegan 2

              Hari Minggu ini mereka berjanji untuk berkumpul bersama kembali. Mereka sepakat rumah Winka sebagai tempat berkumpul minggu ini. Sebenarnya, Awan, Ramlan, Haqqi dan Danu akan bermain bola bersama rombongan sekolah sepak bola mereka untuk latihan bersama dengan sekolah sepakbola Andalas, hingga akhirnya mereka hanya bisa datang ketika siang hari saja, setelah latihan dibubarkan. Namun, itu bukanlah masalah. Itu hal yang biasa, toh masih ada Tio, yang pada dasarnya tidak terlalu menggilai bola, yang siap memeriahkan suasana pagi di rumah.
Tio         :  (Menggeleng-gelengkan kepala) “Hmmm, seperti biasa. Cuma aku laki-laki pertama yang datang. Yang lain mana, Win?”
Winka   :  (Datang ke ruang tengah sambil membawa minuman segar) “Biasa, Yo. Ada Sparing dengan SSB Andalas. Kamu itu yang kenapa gak ikutan?”
Tio         :  Malah nanya dia. Aku itu beda dengan anak laki-laki pada umumnya, kalo mereka main otot, kalau aku main otak, Win.”
Winka   :  (Sambil tersenyum getir) “Main boneka kali, Yo. Hahaha..”
Tio         :  (Mengerutkan dahi) “Ngawur kamu Win!”
Atika     :  (Bergabung dengan Winka dan Tio) “Pagi, hari yang cerah.”
Rahma  :  (Langsung mengambil minum di atas meja) “Wah, seger nih.”
Tio         :  “Kamu, Ma. Baru datang sudah langsung ambil minum saja.”
Rahma  :  (Sambil menyeruput minuman di gelasnya) “Anggi mana? Bangun jam berapa lagi dia hari ini?”
Atika     :  “Tungguin aja kenapa sih, Ma? Win, jadi yang lain gabung nanti siang?”
Winka   :  (Sambil duduk mengambil posisi di sebelah Tio) “Iya, mau Sparing dulu katanya.”
Atika     :  (Menganggung-anggukkan kepala) “Hmm.. Iya-iya.. Awan juga bilang gitu semalam.”
Tio         :  (Mengacungkan jarinya ke arah Atika) “Jadi, semalam itu Awan kirim-kiriman pesan sama kamu, Ka? Ya ampun..”
Atika     :  “Jangan asal tebak deh. Orang kita cuma nanyain hal-hal sepela saja kok.”
Tiba-tiba Anggi datang dengan terburu-buru.
Anggi    :  (Bernapas dengan cepat) “Huh.. Capeknya.”
Tio         :  “Miss, jam berapa ini? Terus, tadi dikejar-kejar kucing?”
Anggi    :  (Melemparkan tubuhnya ke sofa, duduk disebelah Rahma) “Aku telat yah? Salah lihat jam tadi pagi. Aku pikir masih jam delapan, ternyata jam setengah 9.”
Rahma  :  “Ah, itu biasa. Telat satu jam. Ingat tidak, waktu kita perpisahan, bis sekolah harus menunda keberangkatan cuma karena kamu belum datang. Luar biasa.”
Anggi    :  (Melipat tangannya di depan dadanya) “Terus saja kamu, Ma. Aku itu orang spesial, makanya harus ditunggu.”
Atika     :  “Iya, ayam spesial. Hahaha…“
Semua tertawa kecuali Anggi yang masih saja cemberut dengan kalimat dari Atika.
Anggi    :  “Sembarangan kamu, Ka! Kamu samain aku dengan mie instan!”
Atika     :  (Merayu) “Enggak kok, Nggi. Kamu kan cantik, beda dong sama mie instan.”
Tio         :  “Tolong deh, Ka. Kamu bilang cuma aku yang cantik!”
Atika     :  (Menepuk keningnya) “Oh, iya. Aku lupa, Yo. Maksud aku, Nggi, Tio nomor satunya, nah kamu nomor duanya.”
Rahma  :  (Sambil menahan tawa) “Hahaha.. Kamu kalah cantik tuh dari Tio.”
Winka   :  “Aku gak ikutan loh, Nggi.”
Anggi    :  (Mendekati Atika lalu mencubit lengan Atika) “Kamu yah, Ka! Bahagia sekali lihat orang tersudut.”
Atika     :  (Memegang tangannya lalu merayu) “Aww.. Enggak kok, Nggi. Aku Cuma bercanda kok.”
Winka   :  (Membawa beberapa kue kepada teman-temannya) “Anggi, nih makan. Siapa tau marah kamu reda.”
Anggi    :  (Menghampiri Winka yang membawa kue) “Winka baik. Makasih Winka.”
Tio         :  (Mendekati Anggi dan kuenya) “Wah, makan…”
              Setelah lelah bercanda dan makanan pun perlahan-lahan habis mereka makan, mereka pun kelelahan. Mereka berlima terkulai lemah di sofa dengan bantal sofa yang tergeletak berhamburan sembari televisi menyala. Pagi itu mereka sangat menikmati libur mereka.
              Hingga tepat pukul 1 siang, Awan, Ramlan, Danu dan Haqqi baru datang sesuai janji mereka.

Haqqi    :  (Masuk dan terkejut) “Ya ampun.. Habis selesai perang? Siapa yang kalah nih?”
Ramlan :  (Menarik Lengan Tio yang sedang terkulai lemah di kursi akibat kekenyangan) “Habis ngapain sih, Yo? Rumah berantakan seperti ini.”
Anggi    :  (Berdiri dengan wajah cemberut) “Kalian lama sekali. Untung kita gak nunggu sampai maghrib, kalau enggak bisa-bisa mati bosan kita disini.”
Awan     :  (Mendekati Atika dan Rahma) “Ada apa sih?”
Danu     :  (duduk mendekati meja) “Wah.. Habis pesta makan nih mereka. Terus buat kitanya mana?”
Tio         :  “Kelamaan nungguin kalian, yah kita makan saja.”
Haqqi    :  (Sambil tersenyum dan  duduk dilantai) “Tadi kita menang loh. 3-1. Gimana?”
Rahma  :  “Wah ada traktiran nih?”
Awan     :  “Apanya yang traktiran? Bagian buat kita mana?”
Atika     :  Loh, iya dong. Kalian kan menang, so traktiran dulu?”
Winka   :  “Tenang, ada kok buat kalian.” (Berjalan menuju dapur)
Ramlan : “Asyik, kita dapat jatah makanan.”
Atika     :  “Beneran deh, kayak tahanan gak diberi makan satu tahun kalian.”
Haqqi    :  “Tak apalah. Kamu kerjaannya nimbrung aja deh, Ka.”
Awan     :  “Atika bukan nimbrung tapi kepo. Haha..”
Ramlan :  “Nanti ribut loh Awan dan Atika. Lihat saja nanti. Bakalan ada yang galau.”
Atika     :  “Enggak tuh. Saya rasa saya baik-baik saja.”
Tak lama kemudian Winka datang.
Winka   :  (Sambil membawa kue) “Spesial buat yang menang nih.”
Atika     : “Asalkan bukan ayam spesial yah.”
Anggi    :  “Aku diam dari tadi bukan aku gak ngikuti yah. Masih saja diungkit-ungkit.”
Atika     :  “Iya deh non cantik. Jangan cemberut, nanti cepat tua loh.”
              Mereka semua pun tertawa. Hari minggu itu terasa menyenangkan, jauh lebih baik jika berada dalam satu lingkup persahabatan yang telah lama dikenal dan mengetahui persahabatan itu secara mendalam.

Adegan 3

              Jam istirahat berbunyi. Mereka berkumpul di depan kelas VIIA, seperti biasa. Bagian depan kelas itu memang terasa begitu menyenangkan. Selain banyak bunga dan ada pohon yang bertinggi sedang yang rindang, kelas itu juga diisi oleh orang-orang yang mengasyikkan.
              Saat mereka sedang asyik-asyiknya berbincang-bincang, Tio datang dengan terbirit-birit bersama Anggi.

Anggi    :  (Dari jauh memanggil dan berlari) “Tiiiioooo… Tunggu aku…”
Tio         :  (Terengah-engah dan berjongkok) “Hampir saja. Huh… Capek..”
Tak lama kemudian, Anggi datang dengan terengah-engah juga.
Anggi    :  (Dengan nafas yang masih memburu dan emosi yang memuncak) “Wah.. Payah kamu, Yo. Main pergi gitu aja. Gimana kalau aku ketahuan? Kamu juga loh yang aku laporkan.”
Tio         :  “Kamunya yang kelamaan, Nggi.”
Ramlan :  “Habis ngapain sih kalian berdua?”
Anggi    :  “Kantor kepala sekolah.”
Atika     :  “Singkat banget jawabannya, Nggi. Gak kayak biasanya. Buat apa kalian kesana?”
Anggi    : “Aku masih capek, Atika. Gak lihat aku masih mendengus lelah seperti ini.”
Tio         :  (Sambil mencari tempat duduk yang nyaman) “Seperti ini ceritanya. Tadi, ketika aku dan Anggi mengantarkan buku catatan tadi ke meja Ibu Ika, kita nggak sengaja mendengar percakapan Pak Kepsek dan Bu Ika tentang murid baru.”
Anggi    :  “Nah, kami penasaran. Jadi, kami ikuti Ibu Ika dan Pak Kepsek ke kantornya. Tapi, belum sempat kami mendengar lebih jauh, eh Ibu Ika tiba-tiba keluar ruangan.”
Tio         :  “Makanya kami langsung berlari terbirit-birit seperti ini.”
Winka   :  “Murid baru. Hmm… Jarang ada murid baru loh di sekolah kita. Karena sekolah ini tidak dengan mudah menerima siswa baru.”
Awan     :  “Bener itu Win. Sekolah kita benar-benar menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Ingat gak ketika kita seleksi masuk kesini? Ribet banget kan?”
Haqqi    :  “Haduh… pas banget yah kita semua ini, sama-sama kepoooo…”
Anggi,   : (Mendekati Haqqi dan mencubit pipinya) “Haqqiiiiiiiii…”
Winka,
Atika,
Rahma.

              Begitulah persahabatan mereka. Tak pernah ada yang berubah. Yang berubah hanya satu, umur mereka yang semakin dewasa.

Adegan 4

              Seperti kabar yang sebelumnya dibertikan oleh Tio dan Anggi, hari ini pertanyaan mereka pun jelas terjawab. Siswi baru itu bernama Rana Kurnia Rahma. Dia pindahan dari luarkota. Rana berada di kelas VIIA, satu kelas bersama Atika, Rahma, Winka, Awan, dan Tio. Rana pun duduk disebelah Atika.
                  Saat itu, dikelas VIIA, Rana sedang memperkenalkan dirinya didepan teman-teman barunya kini.

Rana        :   (Sambil menggoyang-goyangkan kakinya) “Saya Rana Kurnia Rahma, senang bertemu dengan kalian semua.”
Ibu Ika    :   (Berdiri disamping Rana) “Kamu duduk disebelah Atika. Atika, Rana duduk disampingmu.”
Atika        :   (Tersenyum kepada Rana) “Iya, Bu. Mari Rana.”
                  Rana berjalan menuju meja Atika. Mereka berdua berkenalan satu sama lain dan Rana pun merasa senang bisa berkenalan dengan Atika.
                  Ditengah-tengah penjelasan Ibu Ika, Rahma memanggil Atika dengan berbisik-bisik.

Rahma    :   (Setengah berbisik sambil menendang kecil kursi Atika) “Atika… Atika… Lihat ke belakang dulu?”
Atika        :   (Tersentak akibat tendangan kecil Rahma) “Kenapa toh, Rahma? Gak usah pake nendang-nendang kenapa sih?”
Rahma    :   (Tersenyum getir) “Asyik kayaknya kamu dengan anak baru? Inget kita dong?”
Atika        :   (Membenahi tempat duduknya agar bisa lebih menatap Rahma) “Kamu itu kenapa sih, Ma? Kok, ngomongnya gitu? Mana mungkinlah aku seperti itu. Kita itu semua adalah sahabat. Tak akan ada yang bisa merusak hubungan kita.”
Rahma    :   (Kembali menulis ) “Oke, maaf. Baiklah kalau begitu.”
                  Atika pun kembali menulis dan menghadap papan tulis. Atika benar-benar bingung apa yang ada dipikiran Rahma hingga berkata seperti itu.

Adegan 5

                  Jam istirahat pun tiba. Seperti biasa, mereka semua berkumpul ditempat biasa. Hanya saja atmosfer terasa lebih panas. Oh iya, bukan karena cuaca, hanya saja ada kekakuan antara Atika dan Rahma yang masih belum bisa melupakan kejadian di kelas beberapa menit yang lalu.
                  Atika pun terlihat tak bersemangat istirahat kali ini. Dia hanya terfokus pada bunga-bunga kuncup yang hampir bermekaran di taman sekolahnya.

Awan      :   (Sambil duduk dan melihat ke arah Atika) “Kamu kenapa, Ka? Bunganya belum mekar loh, kok segitunya di pandangi?”
Ramlan   :   (Menyikut Lengan Awan) “Atika sudah gak minat lagi sama kamu, Wan. Terima saja kenapa sih?”
Atika        :   (Berbalik badan memandangi teman-temannya yang duduk berbaris di depannya) “Aku baik-baik saja kok. Aku suka saja melihat bunga yang hampir mekar, sama seperti kita, hampir dewasa. Lagian, siapa yang bilang kayak gitu, Lan?”
Tio            :   (Menatap Rahma) “Oh ya, Ma. Tadi di kelas kamu ngomongin apaan dengan Atika pas Ibu Ika sedang menjelaskan pelajaran?”
Rahma    :   “Bukan apa-apa kok.”
Winka     :   (Berdiri) “Permisi, izinkan saya berbicara. Jadi masalahnya ada di Rana?”
Danu       :   “Rana? Rana siapa?”
Tio            :   “Rana, siswi baru di sekolah kita. Dia sekelas dengan kami. Sebangku dengan Atika.”
Haqqi      :   (Sambil memegang dagunya) “Sepertinya aku mulai tau apa permasalahannya? Ada apa, Ma? Adakah sesuatu yang mengganjal di hati kamu?”
Rahma    :   “Au hanya takut kehilangan persahabatan ini. Aku takut Atika berpaling.”
Atika        :   (Menatap Rahma lekat-lekat) “Kamu gak percaya dengan aku, Ma? Aku gak akan ninggalin kalian. Rana orangnya baik, kamu belum mengenalnya saja.”
Rahma    :   (Menundukkan kepala) “Rana bukan orang baik, Ka. Itu naluriku sebagai sahabat kamu.”
Atika        :   (Menunjuk ke dalam kelas, tepat di tempat Rana sedang duduk) “Kamu lihat dia sekarang. Apa ada sesuatu yang membuat kamu tetap yakin jika dia tak baik?”
Awan      :   (Mendekati Atika) “Coba tenang, Atika. Kamu harus tenang. Hal itu wajar. Hanya saja, Rahma, kamu terlalu berlebihan.”
Winka     :   (Memegang pundak Rahma) “Teman baru? Itu hal yang wajar, Ma. Kamu tak akan kehilangan Atika hanya karena anak baru itu.”
Anggi       :   (Mendekati Atika) “Rahma hanya takut kamu menyia-nyiakan persahabatan kamu, Ka. Kalian berdua bersahabat sudah lebih dari setengah usia kalian, kan? Maka dari itu, dia takut ketika kamu merasakan nyaman ke seseorang yang baru di hidup kamu. Dia takut kehilangan kamu, Ka.”
Atika        :   (Mendekati Rahma) “Rana, teman baru aku, Ma. Beda dengan kalian semua yang sudah bersahabat lama dengan aku. Kalian lebih istimewa dibandingkan siapapun itu.”
                  Rahma hanya menatap balik mata Atika lalu kembali menunduk. Rahma takut betapa Atika suatu hari nanti akan melupakan persahabatan karib mereka. Rahma cemburu. Rahma khawatir dengan sosok Rana. Dan mulai dari sanalah, Rahma membenci sosok Rana yang telah menyelinap memasuki ruangan persahabatan mereka.

Adegan 6

                  Di kelas VIIA sedang terjadi kericuhan. Yah, guru mata pelajaran Matematika sedang berhalangan hadir dikarenakan sakit. Dengan kesempatan itu dipergunakan para siswa-siswi yang lain untuk sekedar bercanda, bermain dalam kelas. Menyebabkan kelas yang tadinya sepi, seketika seperti pasar pagi.
Tio            :   (Berdiri di depan kelas) “Hari ini, Ibu Ika tidak bisa hadir dikarenakan sakit. Kalian semua disuruh untuk mempelajari bab 7, besok Bu Ika akan menguji satu persatu.”
Winka     :   (Mengacungkan tangan tanda akan bertanya) “Tapi, tidak ada tugas yang akan dikumpul untuk hari ini, kan?”
Tio            :   “Betul sekali. Tapi, besok Bu Ika bakal menguji kita semua.”
                  Seketika suasana yang tadinya suram tanpa suara, berubah menjadi pasar dadakan di tengah pemakaman.
                  Di depan sudut kelas depan, tepatnya di tempat duduk Rana dan Atika sedang terjadi percakapan yang sangat mengasyikkan. Rana dan Atika sedang bercerita banyak tentang kehidupan mereka sebelum mereka bertemu. Dan Tio yang mendengar pun akhirnya ikut-ikutan bercerita bersama mereka berdua. Sedangkan di belakang mereka, tepat dua meja belakang, di meja Rahma dan Winka sedang terjadi perdebatan seru antara Rahma, Awan, dan Winka. Mereka masih memperdebatkan tingkah Atika yang lebih sering terlihat bersama Rana.

Rana        :   (Sambil menengadah dagu) “Jadi Rahma, Atika, Winka, dan Awan itu teman kamu lama yah? Kalau Tio?”
Tio            :   (Dengan antusias menjawab pertanyaan Rana) “Aku sudah sejak SD, kelas empat berteman dengan Atika.”
Atika        :   Yah, bisa dibilang kita sahabat. Sudah banyak perjalanan yang kami tempuh bersama. Tapi, tidak cuma kami berlima saja. Masih ada Danu, Haqqi, Anggi dan Ramlan yang tidak sekelas dengan kami. Persahabatan yang luar biasa harmonis. Kami menjaga persahabatan ini sudah lama. Dan tak seorangpun kami biarkan merusak hubungan ini.”
Rana        :   (Dengan mata berbinar-binar) “Wah, persahabatan kalian hebat. Aku pikir persahabatan seperti itu hanya ada di sinetron-sinetron Indonesia saja. Ternyata kalian bukti nyatanya.”
                  Rana begitu kagum dengan persahabatan mereka. Di benaknya pula terpendam hasrat untuk bergabung dan menjadi salah satu dari bagian mereka. Rana sangat ingin memiliki sahabat seperti mereka.
                  Namun disisi lain, Rahma, Awan, dan Winka terus berdebat dengan keakraban yang ditampilkan Rana dan Atika. Rahma tetap saja dengan pemikirannya jika Rana hanya akan merusak hubungan persahabatan mereka. Tapi, Awan terus meyakinkan Rahma jika itu salah. Atika tidak akan mungkin mengorbankan persahabatan mereka yang bertahun-tahun hanya untuk seorang yang baru dia kenal.

Awan      :   (Terus meyakini Rahma) “Ma, Atika tidak akan mungkin melakukan hal itu. Aku berani jamin.”
Rahma    :   (Menunjuk ke arah Rana, Atika dan Tio duduk) “Kamu lihat saja, Wan. Mereka bertiga cerita sambil tertawa bersama tanpa menoleh lagi ke arah kita. Terus itu dinamakan apa coba?”
Awan      :   “Coba berpikir jenih, aku yakin Atika dan Tio sedang bercerita betapa mengasyikkannya persahabatan kita kepada Rana. Mereka tak akan mungkin melakukan hal yang buruk untuk persahabatan kita. Apalagi Rana, dia siswi baru disini, tak mungkin dia berani berbuat yang tidak-tidak.”
Winka     :   (Sambil memegang dahinya) “Hmmm, tapi jika apa yang Rahma takutkan itu terjadi, bagaimana Wan? Ah, aku bingung dibuatnya, satu sisi aku sependapat dengan Rahma tapi disisi lain, aku juga percaya dengan setiap kalimat Atika. Mana mungkin Atika bertindak sebodoh itu kan, Wan?”
Awan      :   “Kamu harus percaya dengan Atika, Win. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan percaya kepada Atika. Kan kasihan jika Atika terus menerus dikatakan akan merusak hubungan kita.”
Rahma    :   “Aku tidak meragukan Atika. Dia benar-benar sahabat sejati. Tapi… Rana… Aku takut jika dia yang akan menghancurkan persahabatan kita. Rana bisa saja kan berbuat seperti itu. Aku tetap pada pemikiranku. Rana bukan teman yang baik untuk Atika.”
Winka     :   (Menarik napas panjang) “Aku setuju pada Rahma, Wan. Bukan Atika yang bermasalah, tapi Rana. Rana bukan orang baik-baik.”
Awan      :   (Menyenderkan bahunya ke kursi) “Hmmm, terserah kalian saja lah. Rana hanya anak baru yang tidak tahu apa-apa dan Atika tak mungkin mengingkari persahabatan kita. Aku percaya itu!”

Adegan 7

                  Hari itu hari sabtu. Sekolah mereka meliburkan para pelajarnya karena akan melaksanakan persiapan untuk ujian para siswa-siswi kelas tiga. Hari itu, seperti biasa, mereka berjanji untuk bertemu dan berkumpul di rumah Atika. Seperti biasa, akhir pekan akan selalu mereka lewati bersama tanpa rasa bosan sekalipun. Tapi kali ini beda, Atika berniat untuk mengubah pemikiran Rahma dan yang lain tentang sosok Rana. Maka dari itulah, Atika mengajak Rana untuk ikut bergabung bersama mereka berkumpul bersama. Atika ingin berbagi dengan temannya sosok Rana yang baik hati, menurutnya itu.
Atika        :   (Datang bersama Rana sambil membawakan makanan kecil) “Mari makan! Ada camilan kecil buat kalian semua. Yang lagi main game, yang lagi sibuk dengan laptop dan yang lagi sibuk dengan buku, mari makan.”
Tio            :   (Menatap Rana yang tiba-tiba datang membawa minuman untuk mereka semua) “Wah, ada Rana juga yah? Wah ada komplotan baru nih. Hahaha…”
Rana        :   (Dengan malu-malu sambil meletakkan minuman ke meja) “Iya. Atika mengajakku kesini. Katanya mau memperkenalkan aku dengan kalian semua. Aku sangat kagum dengan persahabatan kalian. Sungguh-sungguh menyenangkan.”
Rahma    :   (Terkejut lalu menutup buku bacaannya) “Kamu? Kamu Atika yang mengajaknya ikut berkumpul bersama kita. Kok kamu gak konfirmasi dulu sih?”
Atika        :   (Dengan rasa bingung) “Loh, aku sudah cerita kepada yang lain loh, Ma. Hanya saja aku tidak berani bercerita langsung kepada kamu. Kamu masih seperti yang kemarin kepadaku. Dan karena itulah aku menitip pesan kepada Tio untuk mengatakannya padamu.”
Rahma    :   (Dengan wajah kesal menatap Tio) “Tio…. Kenapa kamu gak cerita padaku?”
Tio            :   (Sambil tersenyum) “Maaf, Ma. Aku lupa. Kamu kemarin main pulang-pulang saja. Aku mau panggil kamu, tapi kamu keburu dijemput kakak kamu. Tak mungkin kan aku panggil kamu di depan orang ramai kayak gitu, mau dikatakan sinetron apa?”
Rahma    :   “Terus mengapa kamu tidak menelepon atau mengirim SMS ke padaku?”
Tio            :   “Kamu mau mengisikan pulsa ke nomorku?”
Awan      :   “Sudahlah Rahma. Toh, tak apa ka jika ada Rana. Dia teman sekelas kita juga.”
Rana        :   (Dengan wajah bersalah) “Maafkan aku, Ma. Aku tak bermaksud jahat pada kalian semua kok. Aku hanya ingin berteman dengan kalian semua.”
Danu       :   “Oh, tak apa Rana. Kami senang kok memiliki kenalan baru seperti kamu.”
Rana        :   “Terima kasih. Perkenalkan, Aku Rana. Siswi baru di kelas VIIA. Senang bertemu dengan kalian semua.”
Awan      :   (Tersenyum mendengar kalimat Rana) “Formal sekali kalimatmu, Ran. Senang bertemu denganmu juga.”
Danu       :   (Menjulurkan tangannya kepada Rana) “Aku Danu, kelas VIIB. Senang bertemu dengan mu.”
Ramlan   :   (Menjulurkan tangan kepada Rana juga) “Perkenalkan, aku Ramlan, kelas VIIC.”
Haqqi      :   (Tersenyum kepada Rana) “Kalau aku Haqqi, ingat Haqqi, gunakan ‘Q’ bukan ‘K’, ok? Aku kelas VIIC.”
Anggi       :   (Berusaha ramah kepada Rana) “Aku Anggi, VIIB.”
Rana        :   (Tersenyum kearah mereka semua) “Wah, senangnya bisa berkenalan dengan kalian semua. Aku pikir aku tak akan mendapatkan teman seramah kalian, ternyata aku salah.”
Atika        :   “Mereka semua menyenangkan, bukan Ran? Itu lah sebabnya aku mencintai keluarga besar ku ini.”
Rahma    :   (Sambil membaca buku dipegangannya) “Semoga selamanya seperti itu yah, Ka. Amin…”
                  Atika hanya bisa tersenyum kearah Rahma yang tetap sinis kepada dirinya dan Rana. Tapi, Atika tak mau ambil pusing. Dia pikir jika nanti Rahma akan luluh sendiri dengan Rana, Rana yang baik hati, pasti tau cara apa yang harus dia gunakan untuk meluluhkan hati kerasnya Rahma. Lagipula, temannya yang lain menyembut baik sosok Rana ditengah-tengah mereka. Bahkan Danu, diam-diam mengidolakan sosok Rana yang ramah. Walaupun juga, Winka dan Anggi masih merasa berat hati menerima kehadiran Rana. Tapi, setidaknya sikap mereka berdua tak se sinis sikap yang ditunjukkan Rahma.

Adegan 8                                                        

                  Sepulang sekolah Atika keluar bersama Tio, Awan dan Rana. Sedangkan di belakang mereka berjalan pula Winka dan Rahma keluar dari kelas. Rana yang melihat ayahnya telah datang menjemputnya langsung berpamitan dengan Atika dan yang lain.
Rana        :   (Sambil menyipitkan kedua matanya kesosok ayahnya yang telah menunggu) “Wah, ayahku sudah datang, Ka. Aku duluan yang Atika, Awan, Tio.”
                  Lalu Rana berbalik badan menyapa Winka dan Rahma serta disusul datangnya Anggi dibelakang mereka.
Rana        :   (Sambil berbalik badan dan melambaikan tangannya) “Rahma, Winka, Anggi, aku duluan yah? Ayahku sudah datang menjemputku. Sampai jumpa.”
                  Tak lupa pula Rana melemparkan senyumannya kearah mereka. Walau hanya dibalas dengan biasa-biasa saja dari mereka bertiga. Rana tak memusingkan hal itu. Dia juga sebenarnya tau hal itu dari Tio, tapi dia mencoba utuk tidak mempermasalahkannya.
                  Setelah Rana berlalu, Anggi datang menghampiri Atika yang sedang berjalan menuju gerbang sekolah.

Anggi       :   (Sambil menarik lengan Atika) “Ka, sekarang coba kamu pilih! Kamu pilih Rahma atau Rana?”
Atika        :   (Terkejut dan kesal) “Kamu kenapa, Nggi? Mereka berdua teman aku.”
Anggi       :   (Terus menekan Atika) “Ya sudah, pilih saja! Rahma atau Rana?”
Atika        :   (Menatap Anggi lekat-lekat) “Aku pilih Rahma dan Rana!”
                  Lalu Atika pergi meninggalkan Anggi yang masih saja terlihat menanti jawaban Atika. Atika kecewa. Mengapa teman-temannya begitu tak menyukai Rana yang memang tak seburuk yang mereka pikirkan.

Adegan 9

                  Baru saja Ibu Ika meninggalkan kelas karena pelajarannya yang telah usai. Tak lama dari Ibu Ika keluar, tiba-tiba sesuatu yang kebetulan terjadi.
Ibu Ika    :   (Sambil berdiri dibelakang meja guru dan membenahi buku-bukunya) “Baiklah anak-anak, pelajaran hari ini cukup sampai disini. Jika masih ada yang belum jelas, silahkan bertanya kepada yang sudah mengerti seperti Atika dan Rana. PR kalian jangan lupa dikumpul di meja Ibu, ya, Tio?”
Tio            :   (Langsung berdiri) “Baik Bu.”
                  Ibu Ika pun pergi meninggalkan Tio. Suasana kelas pun mulai disibukkan anak-anak yang mengumpulkan PR mereka ke meja guru dan Tio yang berkeliling untuk mengumpulkan tugas.
Tio            :   (Sambil berjalan berkeliling kelas untuk mengumpulkan buku-buku temannya) “PR nya dikumpulkan sekarang. Yang tidak mengumpulkan hari ini, saya tak akan menanggung dosa kalian.”
Awan      :   (Sambil mengikuti langkah Tio yang sedari tadi mondar-mandir) “Hah? Dosa? Sok jadi malaikat kamu, Yo.”
Tio            :   (Berbalik badan dan bertolak pinggang menghadap Awan) “Iya dong, malaikat. Setiap ada yang telat mengumpulkan tugas, pasti aku yang dimarahi terlebih dahulu.”
                  Tiba-tiba Rahma tersandung kaki Tio dan spontan Rahma pun terjatuh. Seketika perhatian seluruh isi kelas tertuju kepada Rahma yang terduduk sakit menahan luka dikakinya.
Rahma    :   (Sambil terduduk menahan sakit dikakinya) “Aduh… Aduh…”
Tio            :   (Tio langsung mendekati Rahma yang terjatuh) “Aduh.. Maaf Rahma. Kamu sih jalannya gak lihat-lihat. Tuh kan, sampai berdarah. Maaf, Ma.”
Awan      :   (Berjongkok mendekati Rahma) “Wah berdarah. Ada yang bawa antiseptik?”
Lalu Atika, Rana, dan Winka pun mendekati Rahma yang terjatuh.
Winka     :   (Memegang lutut Rahma yang luka) “Aduh… Rahma… Makanya lain kali kalau jalan itu lihat-lihat. Kamu sih terburu-buru.”
Atika        :   (Melihat Luka Rahma) “Luka.. Ada yang bawa antiseptik tidak? Nanti infeksi loh.”
Rana        :   “Aku bawa kok Ka. Tunggu Sebentar, aku ambil di dalam tas aku yah?”
Winka     :   (Memegang pundak Rahma) “Sebentar Ma. Rana punya antiseptik tuh.”
Lalu tak berapa lama kemudian Rana datang membawa peralatan P3K nya.
Tio            :   (Melihat kotak kecil P3K Rana) “Jadi setip hari kamu selalu bawa kotak P3K itu?”
Rana        :   (Sambil membuka kotak kecilnya itu dan mencari antiseptik) “Iya. Aku selalu membawanya. Ibu ku selalu berkata jika kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi, kan?”
Atika        :   “Kamu ada cutton buds? Kita bersihin dulu saja lukanya.”
Rahma    :   “Aduh… Pelan-pelan Ka.”
Atika        :   (Sambil membasahi cutton buds dengan air) “Iya. Kamu nya duduk manis. Kalau kamu banyak bergerak, aku nya jadi grogi.”
Rahma    :   (Sambil menahan sakit) “Aduh… Aduh… Sakit Ka.”
Rana        :   (Membuka tutup antiseptik) “Sini… Ada antiseptiknya.”
                  Lalu Rana meneteskan antiseptik tersebut ke bagian lutut Rahma yang luka. Rahma hanya terdiam membisu memperhatikan wajah Rana lekat-lekat. Dia tau Rana sebenarnya baik, hanya saja kekhawatirannya yang terlampau parah membuatnya selalu tertutupi awan hitam tebal kebencian.
Rana        :   (Menutup kembali dan mengambil mengambil plester luka) “Sudah selesai. Cuma perih sedikit, kan?”
Rahma beranjak untuk mencoba berdiri, lalu..
Rana        :   (Menahan lengan Rahma) “Tunggu sebentar! Di kasih plester luka biar cepat tertutup lukanya.”
                  Rahma kembali menurut perkataan Rana. Dia duduk dan membiarkan Rana megobatinya. Atika dan yang lain, yang melihat kejadian tersebut hanya bisa diam dan membiarkan mereka bekerja seperti teman.
Rana        :   (Berdiri dan tersenyum) “Sudah selesai. Ternyata aku bisa juga yah mengobati luka. Biasanya jika aku yang terluka, aku selalu membutuhkan orang lain untuk mengobati lukaku. Tapi ternyata aku berani untuk mengobati luka orang lain.”
Lalu Rahma mencoba berdiri sambil ditolong oleh Atika dan Winka. Lalu…
Rahma    :   (Sambil tersenyum ke arah Rana) “Terima kasih, Ran.”
Rana        :   (Tersenyum balik ke Rahma) “Sama-sama Rahma.”
                  Rahma pun kembali ke tempat duduknya dibantu oleh Atika dan Winka. Rahma sadar jika Rana sebenarnya sosok gadis yang baik sedari awal Rana hadir, hanya saja hati kecilnya tertutupi kabut hitam tebal kekhawatiran. Rahma terlamapu khawatir jika suatu saat Rana merebut perhatian Atika kepadanya. Atika dan Rahma memang telah saling mengenal satu sama lain dan akrab berteman sejak umur empat tahun, keluarga mereka pun telah saling mengenal. Itulah yang menyebabkan Rahma terlalu takut kehilangan perhatian seorang Atika.
                  Lalu suasana kelas berubah seperti semula.

Tio            :   (Berdiri di depan kelas sambil bertolak pinggang) “Oke, Sinetronnya sudah selesai. Sekarang semua buku PR dikumpulkan. Aku tak mau Ibu Ika marah-marah kembali karena kalian terlambat mengumpulkan tugas darinya.”
                  Semua kembali terburu-buru. Mereka banyak yang segera menyelesaikan tugas secepat kilat. Bahkan, ada yang berlarian menyusul Tio dan Awan sampai ke luar kelas, karena ada beberapa dari mereka yang belum menyelesaikan tugas.

Adegan 10

                  Rumah Rahma hari ini kedatangan tamu. Mereka adalah Anggi dan Winka. Anggi yang baru saja mendengar kabar Rahma terjatuh di kelas pulang sekolah tadi langsung tancap gas ke rumah Rahma. Anggi memang orang yang sangat perhatian. Yang lebih menyita perhatian Anggi adalah tentang Rana dan Rahma yang terlibat sinetron pendek dalam kelas.
Anggi       :   (Duduk disamping Rahma yang sedang duduk di atas tempat tidurnya) “Kamu kenapa sih, Ma? Apa kamu keseleo juga?”
Rahma    :   (Dengan tatapan kosong) “Enggak kok, Nggi. Aku baik-baik saja.”
Winka     :   “Kamu sadar, gak? Dari tadi tuh kamu ngelamun. Kamu punya masalah? Cerita Rahma.”
Rahma    :   (Menatap keduanya yang kini duduk menghadap Rahma) “Aku baik baik saja Anggi, Winka.”
Winka     :   “Pasti ada hubungannya dengan Rana?”
Anggi       :   “Kemarin, pas pulang sekolah aku menghampiri Atika. Aku memberikan sebuah pertanyaan kepadanya.”
Winka     :   “Kamu menghampiri Atika? Kok kami gak tau, Nggi.”
Rahma    :   “Kamu nanya apa Nggi? Kok kamu gak pernah cerita?”
Anggi       :   “Maaf Ma, Win. Aku Cuma pengen tau aja reaksi Atika. Aku bertanya kepada Atika, yang mana yang lebih dia pilih, Rahma atau Rana?”
Winka     :   “Hah? Kok kamu tanya soal itu ke Atika?”
Anggi       :   “Aku cuma penasaran aja dengan Atika. Terus Atika jawab jika dia memilih kalian berdua. Kalian berdua itu sama-sama temannya.”
Rahma    :   (Menekuk lututnya lalau membenamkan wajahnya kedalam lututnya) “Aku salah. Rana memang sosok yang baik. Hanya saja….”
Winka     :   (Mencoba menguatkan Rahma) “Kamu tak salah, Ma. Tak ada seorang pun yang salah, Atika, Rana dan kamu, semuanya tak salah.”
Rahma    :   (Mrngangkat wajahnya) “Aku salah. Aku terlalu takut kehilangan perhatian Atika. Aku berteman baik dengan dia sejak kami empat tahun. Bagaimana bisa aku kehilangan sahabat yang telah bersamaku lebih dari separuh usiaku, Win?”
Anggi       :   (Menepuk-nepuk pundak Rahma pelan) “Itu wajar, Ma. Atika sudah dewasa. Dia perlu mengenal dunia luar. Jadi, wajar saja jika dia tiba-tiba dekat dengan orang lain, lalu dia merasa nyaman.”
Rahma    :   “Aku merasa bersalah kepada Atika dan Rana.”
Anggi       :   “Sudahlah, kita semua masih sahabat kok Ma. Ingat, tak akan ada yang bisa memisahkan kita.”
Winka     :   “Perbaikilah cara pendangmu ke Rana denga begitu kita bisa terus bersatu tanpa harus ada tembok yang meragukan kita.”
Rahma hanya mengangguk pelan. Kini dia tau apa yang seharusnya dia lakukan.

Adegan 11

                  Jam istirahat merupakan saat-saat kemerdekaan bagi para siswa-siswi SMP Widyatama. Mereka bisa terlepas dari penjajahan para buku-buku kusam dan telah lama, bahkan sebagian kertas telah menguning. Tak biasanya, ada pemandangan lain di depan kelas VIIA. Setelah kejadian kemarin, suasana kelas terasa lebih bersahabat dengan siapapun.
Danu       :   (Mendekati Rana yang duduk disebelah Atika, Winka, Anggi dan Rahma) “Wah, ada Rana. Apa kabar kamu hari ini, Ran?”
Rana        :   (Tersenyum) “Baik, kamu bagaimana kabarnya? Hehe… seperti sudah lama tak bertemu yah?”
Atika        :   “Alah… Danu modus. Bilang saja mau berkenalan dengan Rana. Pakai acara tanya kabar pula.”
Awan      :   “Danu… Danu.. Rana, hati-hati yah dengan Danu. Dia contoh dari seribu anak laki-laki yang tak bisa menepati janji.”
Haqqi      :   “Kamu, Wan. Teman mau pendekatan malah kamu hasut gebetannya.”
Anggi       :   “Kamu dengan Atika itu yang perlu diawasi. Diam-diam cerita, kita tak dibagi ceritanya.”
Rana        :   “Awan suka yah dengan Atika? Wah banyak yang ‘Cinta Lokasi’ yah?”
Ramlan   :   “Aku tak ikutan loh, Ran. Saya orangnya ‘bebas-aktif’, seperti ‘politik luar negeri Indonesia’.”
Rahma    :   “Serasa jadi Pak Dubes kamu, Lan. Kalau kamu Dubes, bisa bahaya Indonesia.”
Tio            :   “Yang pasti hari ini berbeda. Ada Rana di tengah-tengah kita. Wah, kita mendapatkan komplotan baru. Harus diadakan upacara nih.”
Rahma    :   “Sebenarnya Rana adalah teman yang baik. Hanya saja aku terlalu khawatir kehilanganmu, Ka. Aku takut kamu melupakan begitu saja persahabatan kita. Dan memilih sosok yang baru.”
Atika        :   (Tersenyum) “Mana mungkinlah, Ma. Kita itu sudah seperti keluarga besar. Kehadiran Rana di tengah-tengah kita akan menambah hari-hari kita semua lebih berwarna. Kita akan lebih menghargai persahabatan ini dengan hadirnya sentuhan baru dari Rana.”
Rana        :   “Terima kasih semua. Terima kasih Rahma yang telah menitipkan kepercayaannya padaku. Terima kasih Atika yang sudah membantuku beradaptasi dengan suasana disini. Terima kasih semuanya, karena kalian aku tau jika persahabatan itu buka sekedar milik ‘sinetron Indonesia’. Hahaha..”
Danu       :   (Tersenyum) “Sama-sama Rana.”
Winka     :   (Tertawa) “Kemarin sikap kamu seperti itu ke aku, Dan. Sekarang Rana. Kamu tak setia.”
Danu       :   “Aku bosan padamu. Aku lebih tertarik kepada Tio.”
Tio        :   (Dengan wajah kesal) “Apa-apaan! Maaf, saya masih normal yah, Dan. Main tarik-tarik saja.”


Mereka semua tertawa bahagia. Rahma merupakan sahabat terbaik selamanya bagi Atika. Dan Rana merupakan pelangi yang akan lebih

0 komentar:

Posting Komentar

Enjoy It